Membincang Ulang
Globalisasi
Berbincang mengenai globalisasi, tidak akan purna rasanya tatkala perbincangan hal tersebut hanya dikerucutkan ke dalam perdebatan yang sifatnya di permukaan, dimana perbincangan kita berkisar mengenai globalisasi sebagai bentuk akhir sebagaimana kita lihat sekarang ini. Dengan sedikit mencomot pengertian globalisasi menurut pengertian umum, bahwasanya globalisasi merupakan ; penyusutan ruang dan waktu bagi bumi manusia, hewan, dan tumbuhan. Penyusutan ini kemudian menjelma menjadi suatu hubungan interkoneksi dan interdependensi bagi tiap-tiap individu manusia dan mahluk lainnya dalam skala global (mengapa mahluk hidup lainnya ? bukankah impor bahan pangan maupun perdagangan satwa memiliki selubung transaksi transnasional ?).
Jika kita membuka lembaran sejarah bumi Jawa, yang merupakan bagian dari Indonesia, bukankah kerajaan Majapahit merupakan salah satu agen dalam perdagangan internasional di jamannya ?, akankah menjadi buruk penilaian kita terhadap Majapahit, karena ia merupakan salah satu kerajaan adi kuasa yang mampu melakukan kerja global yang kita fahami saat ini ? bisa menjadi relative, namun hemat saya, apa yang dilakukan oleh Majapahit merupakan globalisasi pada tingkatan primitive (menjadikan motif ekonomi sebagai satu-satunya tujuan, tanpa harus melibatkan motif lainnya ; politik, budaya, dan sosial didalamnya. Dimana hanya pada satu aspek saja yang terkena dampaknya sekaligus, yakni aras perekonomian. Sedangkan yang lain-lain, tetap kokoh di tempatnya masing-masing. Semisal kebudayaan, bukankah kebudayaan di tiap-tiap negeri yang menjadi kantung distribusi perdagangan majapahit tidak lantas menjadi ke jawa-jawaan ?.
Dengan kata lain globalisasi yang kita lihat dan rasakan sekarang merupakan globalisasi yang tidak bisa kita fahami sebagai satu-satunya mindset dalam memandang proses globalisasi sendiri, minimal dalam memandang proses mengglobalnya hubungan antar kerajaan maupun Negara, dimasa lalu.
Globalisme ditangan para Liberalis
Konteks kekinian lebih tepat tatkala kita melihat agenda-agenda globalisasi yang dihasilkan merupakan jelmaan dari peranan politik neo-liberalisme. Dengan kata lain proses hegemoni wacana maupun kebijakannya bermuara dari kekuatan sistem neo-liberlisme, dengan agenda-agenda yang memiliki dampak terjadinya transisi perekonomian, politik, budaya, maupun perubahan sosial yang serempak di setiap belahan dunia lainnya. Kita bisa melihat perekmbangannya semenjak berkahirnya Perang Dunia (1918-1939) hingga konferensi Bretton Woods. Dimana perkembangan perekonomian dunia setelah perang dunia, dibawah kepemimpinan Amerika Serikat dan Inggris, mengalami perubahan yakni ; mengubah kebijakan proteksionis masa antar-perang (1918-1939) dengan berkomitmen untuk memperluas perdagangan internasional. Sedangkan konfrensi Bretton woods menghasilkan liberalisasi terbatas atas perdagangan dan penciptaan aturan-aturan yang mengikat kegiatan ekonomi internasional, hasil konferensi ini kemudian menelurkan organisasi-organsiasi eknomi global di bawah kepemimpinan AS sebagai komando. Hal ini dapat dilihat dari hasil kesepakatan dalam konferensi tersebut yang menciptakan sistem pertukaan mata uang yang stabil, dimana nilai mata uang masing-masing Negara dipatok terhadap dollar AS yang nilainya disejajarkan dengan harga emas. Tiga Organiasasi tersebut IMF, GATT yang kemudian di ganti dengan organisais WTO dengan fungsi yang hampir sama, dan Bank Dunia.
Perkembangan tersebut menjadi landasan dalam penghegemonian sistem neo-lib sebagai arus ekonomi, politik, dan budaya yang utama sebagai percontohan bagi Negara-negara di dunia, terutama Negara berkembang. Sebagai contoh kita akan melihat 5 kalim globalisasi yang ditulis Manfred B. Steger dalam meretas pengaruhnya di belahan bumi lainnya (non anglo-amerika) dalam mencapai kesejahteraan.
- Globalisasi adalah Liberalisasi dan Integrasi pAsar
- Globalisasi adalah sesuatu yang tak terelakan dan tak berbalik
- Tak seorangpunm memegang kendali atas globalisasi
- Globalisasi menguntungkan semua orang
- Globalisasi meningkatkan penyebaran demokrasi di seluruh dunia
klaim-kalim tersebut mencerminkan bagi sebuah global idiology, yang memolakan, mengkonsolidasikan, menciptakan tata tertib dalam arus tindakan manusia, mengikuti pola-pola sistemik yang menghisap bagi pranata yang tidak siap menahannya.1 Global Idiology ini juga memperkuat rasionalitas sistem kekuasaan sehingga dapat memiliki legitimasi.
Legitimasi inilah yang kemudian menjadi bahasa koersif dari ide dan eja-an kedepan. Terjawab kemudian bangunan bahwa sistem legitimasi (Global Idiology) ini akan berjalan dengan cara apapun untuk memaksa atau menghegemoni basis kesadaran, nilai dan pola pikir akan terjadi sebagai hal yang nyata. Global Idiology ini adalah sistem kapitalisme dan imperialisme lanjut, yang kemudian menjelma menjadi suatu sistem politik neo-liberalisme dan globalisme sebagai sistem ideologinya, yang bernafaskan pada akumulasi keuntungan dalam sistem produksi dan sistem konsumsi yang dibangun dengan penghisapan resourses tenaga (buruh, tani, dan pengangguran) serta alam dari pola eksplorasinya. Prinsip sederhananya adalah nilai keuntungan yang diambil dengan memisahkan modal (kaum borjuis) dan tenaga (ploretar) sebagai bangun yang terpisah dari sistem produksi, digunakan untuk memutar dan melegitimasikan bagi bangunan produksi yang semakin besar dan efektif/efisien bagi oligarkis pemilik modal.
Konteks Indonesia
Kecenderungan di atas akan bergerak dinamis dalam masyarakat yang sedang mengalami transisi dari basis produksi primitif (feodal) yang bersendikan pada kepemilikan tanah luas dan relasi kekuasaan tuan tanah terhadap buruh dan petani kecil menuju masyarakat industri yang sudah mengadopsi perkembangan – perkembangan teknologi dengan efektifitas dan efisiensi guna memudahkan sentralisasi kapital.2
Pola tersebut menjadi basis kenyataan yang bergerak di dalam masyarakat Indonesia. Indikasi yang bisa digunakan dalam kondisi empirik sekitar kita adalah terletak dalam dua hal, pertama adalah munculnya sistem produksi global yang menggeser basis kepemilikan alat produksi dan kedua adalah pola konsumsi yang tinggi (high consumtion) di dalam masyarakat. Sebagai contoh, fenomena tingginya pergantian fungsi tanah pertanian yang beralih menjadi perumahan atau mall pertokoan, penjualan tanah untuk biaya pendidikan, dan pergantian petani menjadi nelayan yang marak di pantai selatan jawa sejauh garis Deandelles selatan, seiring dengan arus modernisasi yang dipilih oleh daerah-daerah di selatan pulau jawa dengan proyek pelabuhan. Contoh pola kedua adalah perkembangan teknologi dan pluralitas barang konsumsi mulai dari alat kecantikan sampai dengan HP (hand phone) yang menjadi trand mark baru di generasi muda Indonesia.
Dengan demikian, dalam rangka menghadapi era-globalisasi mendatang, dalam konteks ke-Indonesia-an, sebaiknya tidak luput dari perbincangan pada tataran wacana agenda-agenda globalisasi saat ini, yang mustahil untuk kita fahami hanya dengan melihat sistem yang berjalan sebagai “produk jadi” tanpa melihat konteks historis, ekonomis, politis, maupun budaya dimana agenda-agenda tersebut diejawantahkan dalam strukutur pranata sosial masyarakat dan negara kita.
Catatan
[1] Sastrapatedja. M, Dari Utopia ke Idiologi. Prisma. 1983. hal 5
[1] Lihat, The German Idiology, Marx, Karl, and Engles
Membincang Ulang
Globalisasi
Berbincang mengenai globalisasi, tidak akan purna rasanya tatkala perbincangan hal tersebut hanya dikerucutkan ke dalam perdebatan yang sifatnya di permukaan, dimana perbincangan kita berkisar mengenai globalisasi sebagai bentuk akhir sebagaimana kita lihat sekarang ini. Dengan sedikit mencomot pengertian globalisasi menurut pengertian umum, bahwasanya globalisasi merupakan ; penyusutan ruang dan waktu bagi bumi manusia, hewan, dan tumbuhan. Penyusutan ini kemudian menjelma menjadi suatu hubungan interkoneksi dan interdependensi bagi tiap-tiap individu manusia dan mahluk lainnya dalam skala global (mengapa mahluk hidup lainnya ? bukankah impor bahan pangan maupun perdagangan satwa memiliki selubung transaksi transnasional ?).
Jika kita membuka lembaran sejarah bumi Jawa, yang merupakan bagian dari Indonesia, bukankah kerajaan Majapahit merupakan salah satu agen dalam perdagangan internasional di jamannya ?, akankah menjadi buruk penilaian kita terhadap Majapahit, karena ia merupakan salah satu kerajaan adi kuasa yang mampu melakukan kerja global yang kita fahami saat ini ? bisa menjadi relative, namun hemat saya, apa yang dilakukan oleh Majapahit merupakan globalisasi pada tingkatan primitive (menjadikan motif ekonomi sebagai satu-satunya tujuan, tanpa harus melibatkan motif lainnya ; politik, budaya, dan sosial didalamnya. Dimana hanya pada satu aspek saja yang terkena dampaknya sekaligus, yakni aras perekonomian. Sedangkan yang lain-lain, tetap kokoh di tempatnya masing-masing. Semisal kebudayaan, bukankah kebudayaan di tiap-tiap negeri yang menjadi kantung distribusi perdagangan majapahit tidak lantas menjadi ke jawa-jawaan ?.
Dengan kata lain globalisasi yang kita lihat dan rasakan sekarang merupakan globalisasi yang tidak bisa kita fahami sebagai satu-satunya mindset dalam memandang proses globalisasi sendiri, minimal dalam memandang proses mengglobalnya hubungan antar kerajaan maupun Negara, dimasa lalu.
Globalisme ditangan para Liberalis
Konteks kekinian lebih tepat tatkala kita melihat agenda-agenda globalisasi yang dihasilkan merupakan jelmaan dari peranan politik neo-liberalisme. Dengan kata lain proses hegemoni wacana maupun kebijakannya bermuara dari kekuatan sistem neo-liberlisme, dengan agenda-agenda yang memiliki dampak terjadinya transisi perekonomian, politik, budaya, maupun perubahan sosial yang serempak di setiap belahan dunia lainnya. Kita bisa melihat perekmbangannya semenjak berkahirnya Perang Dunia (1918-1939) hingga konferensi Bretton Woods. Dimana perkembangan perekonomian dunia setelah perang dunia, dibawah kepemimpinan Amerika Serikat dan Inggris, mengalami perubahan yakni ; mengubah kebijakan proteksionis masa antar-perang (1918-1939) dengan berkomitmen untuk memperluas perdagangan internasional. Sedangkan konfrensi Bretton woods menghasilkan liberalisasi terbatas atas perdagangan dan penciptaan aturan-aturan yang mengikat kegiatan ekonomi internasional, hasil konferensi ini kemudian menelurkan organisasi-organsiasi eknomi global di bawah kepemimpinan AS sebagai komando. Hal ini dapat dilihat dari hasil kesepakatan dalam konferensi tersebut yang menciptakan sistem pertukaan mata uang yang stabil, dimana nilai mata uang masing-masing Negara dipatok terhadap dollar AS yang nilainya disejajarkan dengan harga emas. Tiga Organiasasi tersebut IMF, GATT yang kemudian di ganti dengan organisais WTO dengan fungsi yang hampir sama, dan Bank Dunia.
Perkembangan tersebut menjadi landasan dalam penghegemonian sistem neo-lib sebagai arus ekonomi, politik, dan budaya yang utama sebagai percontohan bagi Negara-negara di dunia, terutama Negara berkembang. Sebagai contoh kita akan melihat 5 kalim globalisasi yang ditulis Manfred B. Steger dalam meretas pengaruhnya di belahan bumi lainnya (non anglo-amerika) dalam mencapai kesejahteraan.
- Globalisasi adalah Liberalisasi dan Integrasi pAsar
- Globalisasi adalah sesuatu yang tak terelakan dan tak berbalik
- Tak seorangpunm memegang kendali atas globalisasi
- Globalisasi menguntungkan semua orang
- Globalisasi meningkatkan penyebaran demokrasi di seluruh dunia
klaim-kalim tersebut mencerminkan bagi sebuah global idiology, yang memolakan, mengkonsolidasikan, menciptakan tata tertib dalam arus tindakan manusia, mengikuti pola-pola sistemik yang menghisap bagi pranata yang tidak siap menahannya.1 Global Idiology ini juga memperkuat rasionalitas sistem kekuasaan sehingga dapat memiliki legitimasi.
Legitimasi inilah yang kemudian menjadi bahasa koersif dari ide dan eja-an kedepan. Terjawab kemudian bangunan bahwa sistem legitimasi (Global Idiology) ini akan berjalan dengan cara apapun untuk memaksa atau menghegemoni basis kesadaran, nilai dan pola pikir akan terjadi sebagai hal yang nyata. Global Idiology ini adalah sistem kapitalisme dan imperialisme lanjut, yang kemudian menjelma menjadi suatu sistem politik neo-liberalisme dan globalisme sebagai sistem ideologinya, yang bernafaskan pada akumulasi keuntungan dalam sistem produksi dan sistem konsumsi yang dibangun dengan penghisapan resourses tenaga (buruh, tani, dan pengangguran) serta alam dari pola eksplorasinya. Prinsip sederhananya adalah nilai keuntungan yang diambil dengan memisahkan modal (kaum borjuis) dan tenaga (ploretar) sebagai bangun yang terpisah dari sistem produksi, digunakan untuk memutar dan melegitimasikan bagi bangunan produksi yang semakin besar dan efektif/efisien bagi oligarkis pemilik modal.
Konteks Indonesia
Kecenderungan di atas akan bergerak dinamis dalam masyarakat yang sedang mengalami transisi dari basis produksi primitif (feodal) yang bersendikan pada kepemilikan tanah luas dan relasi kekuasaan tuan tanah terhadap buruh dan petani kecil menuju masyarakat industri yang sudah mengadopsi perkembangan – perkembangan teknologi dengan efektifitas dan efisiensi guna memudahkan sentralisasi kapital.2
Pola tersebut menjadi basis kenyataan yang bergerak di dalam masyarakat Indonesia. Indikasi yang bisa digunakan dalam kondisi empirik sekitar kita adalah terletak dalam dua hal, pertama adalah munculnya sistem produksi global yang menggeser basis kepemilikan alat produksi dan kedua adalah pola konsumsi yang tinggi (high consumtion) di dalam masyarakat. Sebagai contoh, fenomena tingginya pergantian fungsi tanah pertanian yang beralih menjadi perumahan atau mall pertokoan, penjualan tanah untuk biaya pendidikan, dan pergantian petani menjadi nelayan yang marak di pantai selatan jawa sejauh garis Deandelles selatan, seiring dengan arus modernisasi yang dipilih oleh daerah-daerah di selatan pulau jawa dengan proyek pelabuhan. Contoh pola kedua adalah perkembangan teknologi dan pluralitas barang konsumsi mulai dari alat kecantikan sampai dengan HP (hand phone) yang menjadi trand mark baru di generasi muda Indonesia.
Dengan demikian, dalam rangka menghadapi era-globalisasi mendatang, dalam konteks ke-Indonesia-an, sebaiknya tidak luput dari perbincangan pada tataran wacana agenda-agenda globalisasi saat ini, yang mustahil untuk kita fahami hanya dengan melihat sistem yang berjalan sebagai “produk jadi” tanpa melihat konteks historis, ekonomis, politis, maupun budaya dimana agenda-agenda tersebut diejawantahkan dalam strukutur pranata sosial masyarakat dan negara kita.
Catatan
[1] Sastrapatedja. M, Dari Utopia ke Idiologi. Prisma. 1983. hal 5
[1] Lihat, The German Idiology, Marx, Karl, and Engles
Tidak ada komentar:
Posting Komentar